Menuju
puncak keemasan
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari
khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola pemerintahan
yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan
politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan
politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi
lima periode:
2.
Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M),
disebut periode pengaruh Turki pertama.
3.
Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M),
masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.
Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M),
masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah;
biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5.
Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M),
masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya
efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas
mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah
periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang
politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas,
pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya
digantikan oleh Abu Ja'far
al-Manshur (754-775
M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij,
dan juga Syi'ah.
Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan
baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali,
keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesirdibunuh karena tidak
bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim
al-Khurasani melakukannya,
dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena
dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih
memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur
memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad,
dekat bekas ibu kota Persia,Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan
dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini
al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya
dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan,
dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian
yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal
dari Balkh, Persia. Dia juga
membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara
disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjukMuhammad ibn
Abdurrahman sebagai
hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa
dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu
hanya sekedar untuk mengantar surat .
Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi
di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah
laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali
daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan
memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut
adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada
tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus.
Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala
tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lainOxus dan India.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata:
“
|
Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi
(sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)
|
”
|
Dengan demikian, konsep khilafah dalam
pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia,
bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Disamping itu,
berbeda dari daulatBani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah
memakai "gelar tahta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar tahta
ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah
diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak
keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan
peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil
pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang
transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya
di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak
dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah
sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat
paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum
juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,
dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara
terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun,
pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada
ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing
digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia
menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa
laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah,
salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah,
pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan
yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim,
khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan
mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
Daulah Umayyah,
dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem
ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti.
Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan
demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun
demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern
Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara,
gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah,
dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat
dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada
periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah
perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah.
Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat
di zaman Bani Umayyah.
1.
Dengan berpindahnya ibu kota
ke Baghdad,
pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode
pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua
dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan
pemerintahan dinasti ini.
2.
Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani
Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini
tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
3.
Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak
perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani
Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa
Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan
Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan
sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua
tingkat:
1.
Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu
lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan,
hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama,
seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
2.
Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang
ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang
atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang
dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid
atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa
berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama
ahli ke sana .
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada
masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab, di sana
orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga
pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab,
baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah,
maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling
tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1.
Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih
dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa
pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi
berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham
tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia,
sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping
itu, bangsa Persia
banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu
matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan
dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
2.
Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga
fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada
fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi
dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang
banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga
berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju
tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang
tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu
interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode
rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits
dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan
Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional),
sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi.
Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua
bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada
masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat
hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota
yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah
mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih
banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus
pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi
al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid.
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits
dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi
oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad ibn
Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem
madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para
muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi.
Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat
orang-orang non-Arab. Disamping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa
pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya
secara bebas dan mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya
tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah,
seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan
pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani
Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru
mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah
terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus
pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M).Asy'ariyah, aliran
tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani
Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi,
karena Al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku
pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga
berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh
tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan
penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam
perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama
kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal
di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis
ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.
Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina.
Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan
measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosofberhasil
menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran
paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan
ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen,
terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke
benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya
bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan.
Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah
menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang
matematika terkenal nama Muhammad ibn
Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi.
Dialah yang menciptakan ilmu aljabar.
Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam
bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli
dalam ilmu geografi.
Di antara karyanya adalah Muuruj
al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat,
antara lain al-Farabi,
Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd.
Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika
dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles.
Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di
antaranya ialah asy-Syifa'.
Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes,
banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di
bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya
karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak
di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini
memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman
pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka
ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di
Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika,
dan astronomi seperti Euclid dan ClaudiusPtolemy.
Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang
pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak
ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring
dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa
keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya
terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama, namun setelah periode
ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran.Wallahul
Musta’an.
Pengaruh
Mamluk
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mamluk
Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali
mengorganisasikan penggunaan tentara-tentara budak yang disebut Mamluk pada abad ke-9. Dibentuk oleh Al-Ma'mun,
tentara-tentara budak ini didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berberdari Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur.
Ini adalah suatu inovasi sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran
dari Turki.
Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus
menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah. karena berbagai kondisi yang ada di umatmuslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan
ini hanya menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk ini, yang kemudian dikenal
denganBani Mamalik berhasil
berkuasa, yang pada mulanya mengambil inisiatif merebut kekuasaan kerajaan Ayyubiyyah yang pada masa itu merupakan
kepanjangan tangan dari khilafah Bani Abbas, hal ini disebabkan karena para
penguasa Ayyubiyyah waktu itu kurang tegas dalam memimpin kerajaan. Bani
Mamalik ini mendirikan kesultanan sendiri di Mesir dan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Cairosetelah berbagai
serangan dari tentara tartar dan kehancuran Baghdad sendiri setelah
serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.
Walaupun berkuasa Bani Mamalik tetap menyatakan diri berada di bawah kekuasaan
(simbolik) kekhalifahan, dimana khalifah Abbasiyyah tetap sebagai kepala
negara.
[sunting]Pengaruh Bani Buwaih
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dinasti Buwayhiyah
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani
Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan
membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap
sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi,
sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di antara faktor
lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada
pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan
kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada
masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya,
meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah
dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan
membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena
khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa
diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di
daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil
yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut.
Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan
merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik
mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode
kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah berada di bawah
pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.
[sunting]Pengaruh Bani Seljuk
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kesultanan Seljuk Raya
Setelah jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan
Bani Seljuk atau Salajiqah Al-Kubro (Seljuk Agung), posisi dan kedudukan
khalifah Abbasiyah sedikit lebih baik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang
agama dikembalikan bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan untuk
membendung faham Syi'ah dan mengembangkan manhaj Sunni yang dianut oleh mereka.
[sunting]Kemunduran
Faktor-faktor penting yang menyebabkan
kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri,
adalah:
1.
Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah
sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu,
tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan
sangat rendah.
2.
Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata,
ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.
Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang
dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer
menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
[sunting]Masa Disintegrasi
(1000-1250 M)
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu,
propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh
pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya
sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah.
Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan
terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani
Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa
keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaanIslam. Hal ini tidak
seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan
dinasti ini tidak pernah diakui diSpanyol dan
seluruh Afrika Utara,
kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan
kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah tidak
dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan
gubernur-gubernur propinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khilafah ditandai
dengan pembayaran pajak.
1.
Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk
membuat mereka tunduk kepadanya,
2.
Penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan
pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu,
propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara:
1.
Seorang pemimpin lokal memimpin suatu
pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko.
2.
Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah,
kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah diTunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani
Idrisiyyah di Marokko, propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar
upeti selama mereka menyaksikan Baghdad
stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun
pada saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad . Mereka bukan
saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan
berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Ibnu Khaldun,
sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad
kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin
yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat
mereka benar-benar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai
mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan
orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru seperti
diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan
selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi
pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme
kebangsaan berupa gerakan syu'u
arabiyah (kebangsaan/anti
Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi
terhadap gerakan politik, disamping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya,
para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan
aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi
kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh
menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru
melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Masa disintegrasi ini terjadi setelah
pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada
masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang
politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup
mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal
dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di
bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam
berdiri. Ada di
antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para
khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya.
Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya.
Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad . Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan
tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara
Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa
pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah
Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian,
faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada
periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah,
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Disamping kelemahan khalifah,
banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur,
masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:
[sunting]Persaingan antar
Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas
yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama
tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap
mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun,
ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.
1.
Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani
Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
2.
Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan
adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak
ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak
merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka
adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab
('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada
periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko,Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan
dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu
tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut
dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme
bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan
berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem
perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai
dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka
dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh
bangsa Persia
dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa
negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan
kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi
kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi,
karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan
kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil,
seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung
lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan
berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada
periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana
diuraikan terdahulu.
Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada
yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad
pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
Yang berbangsa Persia :
1.
Bani Thahiriyyah di Khurasan,
(205-259 H/820-872 M).
2.
Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
3.
Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389
H/873-998 M).
4.
Bani Sajiyyah di Azerbaijan,
(266-318 H/878-930 M).
5.
Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad,
(320-447 H/ 932-1055 M).
[sunting]Yang
berbangsa Turki:
1.
Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903
M).
2.
Ikhsyidiyah di Turkistan,
(320-560 H/932-1163 M).
3.
Ghaznawiyah di Afganistan,
(351-585 H/962-1189 M).
4.
Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
a. Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan
oleh Rukn al-Din Abu
Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini
menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan
Sulthan Alib Arselan Rahimahullahmemenangkan Perang
Salib ke I atas kaisar Romanus IV dan berhasil menawannya.
b. Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583
H/1040-1187 M).
c. Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511
H/1094-1117 M).
d. Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan,
(511-590 H/1117-1194 M).
e. Seljuk Ruum atau Asia kecil di Asia tengah(Jazirah Anatolia),
(470-700 H/1077-1299 M).
[sunting]Yang
berbangsa Kurdi:
1.
al-Barzuqani, (348-406
H/959-1015 M).
2.
Abu 'Ali, (380-489
H/990-1095 M).
3.
al-Ayyubiyyah, (564-648
H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan
Perang Salib periode ke III.
[sunting]Yang
berbangsa Arab:
1.
Idrisiyyah di Maghrib,
(172-375 H/788-985 M).
2.
Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
4.
'Alawiyah di Thabaristan, (250-316
H/864-928 M).
5.
Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
6.
Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
7.
Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
8.
Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472
H/1023-1079 M).
[sunting]Yang
mengaku dirinya sebagai khilafah:
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak
jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar
belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatar belakangi paham
keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ahmaupun Sunni.
[sunting]Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di
bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode
pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang
masuk lebih besar dari yang keluar, sehinggaBaitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana
yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak
hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran,
pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar.
Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah
kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat.
diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri
dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain
disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis
pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik
yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya,
kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah
kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme
kesukuan.
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan
persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan
mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya
gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini
menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkanAl-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus
untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan
tujuan memberantas bid'ah.
Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum
beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat
sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut,
pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah,
sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim)
dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang
dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara
keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil,
misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya,al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan
orang Syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah
berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus
tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan
khilafah Fathimiyah di Mesiradalah dua dinasti
Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak
terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar
aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh
sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salafy.
Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun,
khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah
sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan
golongan Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah yang rasional
dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual
padahal para salaf telah berusaha untuk mengembalikan
ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh Rasulullah.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk yang menganut paham Sunni, penyingkiran
golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa
aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.
Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri
utama paham Ahlussunnah.
Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi
pengembangan kreativitas intelektual Islam konon sampai sekarang.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
Agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti
juga agama Isa ‘alaihis salaam, terkeping-keping
oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai
soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan
yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan
permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang
masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia...
telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam...Pendapat bahwa
rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya
jiwa-jiwa berharga
kehendak bebas manusia... telah menyebabkan
kekacauan yang rumit dalam Islam...Pendapat bahwa
rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya
jiwa-jiwa berhargaala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya
jiwa-jiwa berharga
kehendak bebas manusia... telah menyebabkan kekacauan yang
rumit dalam HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Islam" \o
"Islam" Islam ...Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil
berbuat salah ... menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”
Apa yang disebutkan di
atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula
1.
beberapa gelombang atau periode dan menelan
banyak korban.
2.
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang
setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya.
Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang
berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan
melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam
penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan,
panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh
orang-orang Budha dan Kristen Nestorian.
Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu
dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah
menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.
[sunting]Perang Salib
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk
memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi
dari tentara Muslim atas wilayah Kristen. Sebagaimana
sebelumhnya tentara Sulthan Alp Arselan Rahimahullah tahun 464 H (1071 M), yang hanya
berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 2.000.000 orang,
terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia,
peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Manzikert.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan
daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak
sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini
mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian
mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil
yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
[sunting]Serangan Bangsa
Mongol dan Jatuhnya Baghdad
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Dinasti Ilkhanat
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang
tiba di salah satu pintu Baghdad .
Khalifah Al-Musta'shim,
penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258), betul-betul tidak
berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah
Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil kesempatan dengan
menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka
untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim,
putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak
menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap
sulthan-sulthan Seljuk".
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama
beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah
berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan.
Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan
khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan
orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan
khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua,
termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah
kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan
tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut.
Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke
tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan
khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa
kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan
dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut
pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan
tersebut.
[sunting]Kronologi Kekhalifahan Bani Abbasiyyah
§
750 - Abu al-Abbas al-Saffah menjadi Khalifah pertama Bani
Abbasiyah.
§
752 - Bermulanya Kekhalifahan Bani
Abbasiyah.
§
755 - Pemberontakan Abdullah bin Ali.
Pembunuhan Abu Muslim.
§
756 - Abd ar-Rahman I mendirikan kerajaan Bani Umayyah di Spanyol.
§
786 - Harun ar-Rasyid menjadi Khalifah.
§
800 - Kaidah keilmuan mulai terbentuk. Aljabar diciptakan oleh Al-Khawarizmi.
§
809 - wafatnya Harun ar-Rasyid. al-Amin dilantik menjadi khalifah.
§
814 - Perang saudara antara al-Amin dan al-Ma'mun.
al-Amin terbunuh dan al-Ma'mun menjadi khalifah.
§
1000 - Masjid Besar Cordoba dibangun.
§
1055 - Baghdad dikuasai oleh tentara Turki Seljuk.
Pemerintahan Abbasiyah-Seljuk dimulai sampai sekitar tahun 1258 ketika tentara Mongol menghancurkan Baghdad .
§
1071 - Peristiwa Manzikert. Sulthan Alp Arselan beserta pasukannya yang hanya
berjumlah 15.000 tentara berhasil mengalahkan gabungan tentara salib yang
dipimpim oleh Kaisar Romanus IV yang berjumlah 200.000 tentara.
§
1072 - Sulthan Alp Arselan berhasil menguasai Asia Tengah (Anatolia).
dan meneruskan kepungannya terhadap kerajaanByzantium.
§
1095 - Perang Salib pertama dimulai.
§
1099 - Tentara Salib merebut Baitulmuqaddis.
Mereka membunuh semua penduduknya.
§
1144 - Nur al-Din merebut Edessa dari
tentara Salib. Perang Salib Kedua dimulai.
§
1187 - Salahuddin Al-Ayubbi merebut Baitulmuqaddis dari tentara Salib. Perang Salib Ketiga dimulai.
§
1258 - Tentara Mongol menyerang dan memusnahkan Baghdad.
Ribuan penduduk terbunuh. Kejatuhan Baghdad. Tamatnya pemerintahan Kerajaan
Bani Abbasiyyah di Baghdad.
[sunting]Silsilah para khalifah
Dibawah ini merupakan silsilah para khalifah dari Bani
Abbasiyah, mulai dari Abbas bin Abdul-Muththalib sampai
khalifah terakhir dari Bani Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad
9ba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar